Bayi yang Diprediksi Jadi Kiai
Tahun 1952, seorang ibu muda yang selalu memakai kain batik, baju kebaya, dan menutupi kepalanya dengan kerudung menggendong bayinya naik delman di wilayah selatan Kabupaten Pekalongan yang sejuk itu. Bayi tadi akan disowankan kepada Budenya yang tinggal di kawasan pegunungan. Di sebelah ibu tadi duduk seorang wanita setengah baya.
Sambil menghirup udara segar pegunungan sembari menikmati pemandangan alam dan pak-ketipak-ketipuk suara sepatu kuda, dua wanita tadi mengobrol panjang lebar. Wanita setengah baya tadi juga berkali-kali menatap wajah bayi yang tertidur lelap di pangkuan ibunya. Tampaknya ada sesuatu yang menarik bagi wanita itu. Akhirnya wanita itu berkata kepada ibu yang memangku bayinya itu.
“Mbakyu” begitu wanita tadi menyapa ibu bayi itu. “Lare niki mangke menawi sampun ageng bade dados kiai (anak ini nanti kalau sudah besar akan menjadi kiai)”. “Ah punopo inggih (Ah, masak iya?)?” jawab ibu bayi itu, tidak percaya. “Mbakyu titeni kemawon, sakniki sampun ketingal tanda-tandanipun” (Mbak perhatikan saja, sekarang sudah kelihatan tanda-tandanya).
Begitulah pesan singkat wanita tadi tentang bayi yang mengundang perhatiannya itu. Ibu yang memangku bayi itu tidak pernah peduli dengan omongan wanita itu, dianggapnya sebagai angin lalu saja.
55 tahun pun berlalu, sang ibu yang bernama Hj. Siti Chabibah binti H. Abu Bakar sebelum wafatnya di tahun 2007 dalam usia 88 tahun menceritakan peristiwa itu kepada bayi tersebut yang sudah menjadi kiai sesuai prediksi ibu tua tadi.
Bayi tersebut bernama (alm) K.H. Ali Mustafa Ya’qub. Ia di tahun 1997 telah mendirikan Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences. Sebuah pesantren khusus Mahasiswa yang mendalami ilmu hadis dan hadis. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta selama dua periode.
Sumber: Buku Dzikroyatut Takharruj Wisuda Sarjana ke-14 Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences, halaman 170.
Sumber : bincangsyariah.com
Tahun 1952, seorang ibu muda yang selalu memakai kain batik, baju kebaya, dan menutupi kepalanya dengan kerudung menggendong bayinya naik delman di wilayah selatan Kabupaten Pekalongan yang sejuk itu. Bayi tadi akan disowankan kepada Budenya yang tinggal di kawasan pegunungan. Di sebelah ibu tadi duduk seorang wanita setengah baya.
Sambil menghirup udara segar pegunungan sembari menikmati pemandangan alam dan pak-ketipak-ketipuk suara sepatu kuda, dua wanita tadi mengobrol panjang lebar. Wanita setengah baya tadi juga berkali-kali menatap wajah bayi yang tertidur lelap di pangkuan ibunya. Tampaknya ada sesuatu yang menarik bagi wanita itu. Akhirnya wanita itu berkata kepada ibu yang memangku bayinya itu.
“Mbakyu” begitu wanita tadi menyapa ibu bayi itu. “Lare niki mangke menawi sampun ageng bade dados kiai (anak ini nanti kalau sudah besar akan menjadi kiai)”. “Ah punopo inggih (Ah, masak iya?)?” jawab ibu bayi itu, tidak percaya. “Mbakyu titeni kemawon, sakniki sampun ketingal tanda-tandanipun” (Mbak perhatikan saja, sekarang sudah kelihatan tanda-tandanya).
Begitulah pesan singkat wanita tadi tentang bayi yang mengundang perhatiannya itu. Ibu yang memangku bayi itu tidak pernah peduli dengan omongan wanita itu, dianggapnya sebagai angin lalu saja.
55 tahun pun berlalu, sang ibu yang bernama Hj. Siti Chabibah binti H. Abu Bakar sebelum wafatnya di tahun 2007 dalam usia 88 tahun menceritakan peristiwa itu kepada bayi tersebut yang sudah menjadi kiai sesuai prediksi ibu tua tadi.
Bayi tersebut bernama (alm) K.H. Ali Mustafa Ya’qub. Ia di tahun 1997 telah mendirikan Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences. Sebuah pesantren khusus Mahasiswa yang mendalami ilmu hadis dan hadis. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta selama dua periode.
Sumber: Buku Dzikroyatut Takharruj Wisuda Sarjana ke-14 Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences, halaman 170.
Sumber : bincangsyariah.com
إرسال تعليق